Togutil adalah suku yang hidup di pedalaman hutan Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara. Togutil sendiri memiliki arti "suku yang hidup di hutan" atau dalam bahasa Halmahera pongana mo nyawa. Cara hidup Togutil adalah dengan berpindah-pindah di dalam hutan Wasile, yang terletak di sisi timur Ternate.
Jarak terdekat bisa ditempuh melalui Buli, sebuah kota kecamatan di Halmahera Timur. Dari Kota Buli perjalanan menempuh sejauh 40 kilometer menuju hutan Wasile.
Penelitian tentang Togutil sendiri masih terbatas dan asal muasalnya masih menjadi pertanyaan. Warga Suku Togutil hidup dalam kondisi primitif, bahkan tidak mengenal huruf.
Dari sisi bahasa, suku ini memiliki rumpun yang sama dengan Suku Tobelo. Mereka hidup berkelompok, satu rumah bisa dihuni dua atau tiga keluarga. Dari sisi pekerjaan, suku ini tak bercocok tanam dan hanya mengandalkan hasil hutan.
Suku Togutil sebenarnya telah mengenal peradaban luar, namun mereka memilih menjauhi modernitas. Tradisi turun-temurun membawa mereka ke kerangka hidup sederhana dan terus dipertahankan. Misalnya dalam hal makanan pokok, seperti kebanyakan warga di wilayah Indonesia timur, sagu menjadi pilihan.
Dalam suku ini, kaum pria menempati posisi dominan untuk mengolah hasil hutan seperti sagu. Pohon sagu yang ditebang diambil seratnya dan serat yang sudah larut diayak untuk kemudian dikeringkan. Selesai mengolah sagu, mereka pun pulang. Stok sagu di ladang dapat bertahan hingga berpekan-pekan.
Selain hutan, aliran sungai ikut menjadi sumber penghidupan mereka. Setiap malam, Suku Togutil gemar mencari kateko atau katak dan ikan. Dengan hoba atau panah trisula, mereka dapat mengintai katak dari jauh. Terkadang mereka dapat memakan hingga puluhan kodok dalam semalam. Kodok dan ikan sebagai pengganti protein bagi mereka.
Tak hanya kaum lelaki, perempuan juga ikut mencari umbi-umbian. Umbi kayu memang juga menjadi sumber pangan utama bagi suku ini. Namun, berbeda dari suku lainnya, Togutil tak memiliki konsep pemimpin. Mereka sama dan saling berbagi tugas demi mengolah makan. Selain itu, setiap malam pria Togutil berkumpul bersama sambil menjaga pondokan mereka.
Suku Togutil di Halmahera yang tinggal di hutan diperkirakan masih sekitar 200 kepala keluarga. Sedangkan 46 kepala keluarga telah direlokasi di Kecamatan Wasile Timur. Menurut Bupati Halmahera Timur Rudi Irawan, program relokasi telah ada sejak 1967. Pada 2009 relokasi rumah mulai dibangun kembali. "Mula-mula mereka tidak betah karena biasa hidup di ruang terbuka," ujar Rudi.
Dari sisi kepercayaan, Suku Togutil percaya akan leluhur mereka yang masih bersemayam di hutan. Mereka umumnya menyembah arwah para leluhur. Setiap tiga hari suku ini melakukan ritual mi bahangarama atau menghaturkan doa ke leluhur. Goma terei atau dukun menyajikan sirih, pinang, dan kapur, di daun woka sebagai sesajian. Mereka percaya, di dalam beringin arwah leluhur berada.
Syaiful Majid, peneliti kehidupan Suku Togutil dari Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, hampir dua tahun mendalami aspek budaya dan sosiologis dari suku ini. Menurut Syaiful, bagi suku ini hutan adalah sumber makanan. "Sehingga, dalam pemaknaan Suku Togutil, hutan adalah rumah mereka," jelas Syaiful. Karena itu pula, menjaga hutan dianggap sama dengan menjaga rumah sendiri
Jarak terdekat bisa ditempuh melalui Buli, sebuah kota kecamatan di Halmahera Timur. Dari Kota Buli perjalanan menempuh sejauh 40 kilometer menuju hutan Wasile.
Penelitian tentang Togutil sendiri masih terbatas dan asal muasalnya masih menjadi pertanyaan. Warga Suku Togutil hidup dalam kondisi primitif, bahkan tidak mengenal huruf.
Dari sisi bahasa, suku ini memiliki rumpun yang sama dengan Suku Tobelo. Mereka hidup berkelompok, satu rumah bisa dihuni dua atau tiga keluarga. Dari sisi pekerjaan, suku ini tak bercocok tanam dan hanya mengandalkan hasil hutan.
Suku Togutil sebenarnya telah mengenal peradaban luar, namun mereka memilih menjauhi modernitas. Tradisi turun-temurun membawa mereka ke kerangka hidup sederhana dan terus dipertahankan. Misalnya dalam hal makanan pokok, seperti kebanyakan warga di wilayah Indonesia timur, sagu menjadi pilihan.
Dalam suku ini, kaum pria menempati posisi dominan untuk mengolah hasil hutan seperti sagu. Pohon sagu yang ditebang diambil seratnya dan serat yang sudah larut diayak untuk kemudian dikeringkan. Selesai mengolah sagu, mereka pun pulang. Stok sagu di ladang dapat bertahan hingga berpekan-pekan.
Selain hutan, aliran sungai ikut menjadi sumber penghidupan mereka. Setiap malam, Suku Togutil gemar mencari kateko atau katak dan ikan. Dengan hoba atau panah trisula, mereka dapat mengintai katak dari jauh. Terkadang mereka dapat memakan hingga puluhan kodok dalam semalam. Kodok dan ikan sebagai pengganti protein bagi mereka.
Tak hanya kaum lelaki, perempuan juga ikut mencari umbi-umbian. Umbi kayu memang juga menjadi sumber pangan utama bagi suku ini. Namun, berbeda dari suku lainnya, Togutil tak memiliki konsep pemimpin. Mereka sama dan saling berbagi tugas demi mengolah makan. Selain itu, setiap malam pria Togutil berkumpul bersama sambil menjaga pondokan mereka.
Suku Togutil di Halmahera yang tinggal di hutan diperkirakan masih sekitar 200 kepala keluarga. Sedangkan 46 kepala keluarga telah direlokasi di Kecamatan Wasile Timur. Menurut Bupati Halmahera Timur Rudi Irawan, program relokasi telah ada sejak 1967. Pada 2009 relokasi rumah mulai dibangun kembali. "Mula-mula mereka tidak betah karena biasa hidup di ruang terbuka," ujar Rudi.
Dari sisi kepercayaan, Suku Togutil percaya akan leluhur mereka yang masih bersemayam di hutan. Mereka umumnya menyembah arwah para leluhur. Setiap tiga hari suku ini melakukan ritual mi bahangarama atau menghaturkan doa ke leluhur. Goma terei atau dukun menyajikan sirih, pinang, dan kapur, di daun woka sebagai sesajian. Mereka percaya, di dalam beringin arwah leluhur berada.
Syaiful Majid, peneliti kehidupan Suku Togutil dari Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, hampir dua tahun mendalami aspek budaya dan sosiologis dari suku ini. Menurut Syaiful, bagi suku ini hutan adalah sumber makanan. "Sehingga, dalam pemaknaan Suku Togutil, hutan adalah rumah mereka," jelas Syaiful. Karena itu pula, menjaga hutan dianggap sama dengan menjaga rumah sendiri
0 komentar:
Posting Komentar